+62 (0717) 422145 Senin-Jumat: 07.30 - 16.00 WIB
Link Penting UBB

Artikel UBB

Universitas Bangka Belitung's Article
22 Oktober 2008 | 12:18:43 WIB


KRIMINALISASI RUU PORNOGRAFI


Ditulis Oleh : Admin

Saat ini parlemen kita sedang disibukkan dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi yang akan segera disahkan menjadi undang-undang. Namun dalam proses menuju pengesahan tersebut, mengalami pro kontra baik dimasyarakat maupun antar fraksi diparlemen, yang pada akhirnya nanti bisa saja diambil langkah voting apabila tidak terjadi kesepakatan.


Kriminalisasi Pornografi

Satu hal yang menarik berkaitan dengan proses pengesahan RUU ini adalah ada pendapat bahwa ada RUU Pornografi ini terkesan dipaksa untuk segera disahkan. Mengapa menarik, karena pendapat tersebut menunjukkan bahwa RUU tersebut belum waktunya disahkan atau mungkin tidak perlu disahkan sama sekali. Padahal sebuah RUU yang akan segera disahkan seharusnya sudah tidak ada permasalahan lagi, khususnya berkaitan dengan masalah substansi/isinya. RUU Pornografi yang mengatur ketentuan pidana, tentunya sudah melewati tahapan kriminalisasi, yaitu sebuah tahapan dimana menetapkan sebuah perbuatan yang sebelumnya bukan merupakan tindak pidana menjadi tindak pidana. Artinya, semua pasal-pasal pidana yang ada dalam RUU Pornografi tersebut penetapannya tidaklah sembarangan dirumuskan, namun sudah memenuhi syarat kriminalisasi. Begitupula dengan ketentun-ketentuan lain diluar ketentuan pidana, seperti ketentuan umum yang mengatur pengertian/definisi, dimana perumusannya mempertimbangkan aspek hukum, sosial, budaya, agama, politik dan lain-lain.

Dalam laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada bulan Agustus tahun 1980 di Semarang, disebutkan tentang kriteria kriminalisasi dan dekriminalisasi, yaitu Pertama, apakah perbuatan itu tidak disukai/dibenci oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban; Kedua, apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasil yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan tertib hukum yang akan dicapai; Ketiga, apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya; dan Keempat, apakah perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.

Keempat hal di atas merupakan kriteria/syarat yang harus diperhatikan/dipetimbangkan apabila ingin mengkriminalisasikan sebuah perbuatan. Setiap satu pasal ketentuan pidana yang ada dalam RUU Pornografi harus memenuhi keempat kriteria tersebut. Apabila tidak, maka pasal pidana itu hanya akan menjadi pasal mandul yang tidak efektif dalam aplikasinya.

Kriteria pertama, jelas sudah terpenuhi karena pornografi merupakan perbuatan yang tidak disukai/dibenci oleh masyarakat karena merugikan secara materi bahkan sosial, serta mendatangkan korban. Beberapa kasus perkosaan dan pencabulan serta maraknya prostitusi diantaranya karena ada korelasi dengan pornografi. Disamping itu, pornografi jelas-jelas bertentangan dengan ajaran agama dan budaya ketimuran bangsa ini.

Kriteria kedua, harus dapat diperkirakan apakah dengan disahkannya RUU Pornografi nanti, betul-betul efektif dalam penerapannya sehingga menimbulkan tertib hukum. Artinya, biaya yang besar untuk penyusunan RUU tersebut, upaya pengawasan dan penegakan hukum yang akan dilakukan, serta beban yang dipikul oleh korban dan pelaku kejahatan itu sendiri tidaklah sia-sia.

Kriteria ketiga, dan ini sangat penting, yaitu apakah dengan adanya UU Pornografi nanti tidak menambah beban aparat penegak hukum yang sudah begitu banyak dan berat atau justru memang nyata-nyata tugas penegakan UU Pornografi nantinya tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimiliki aparat penegak hukum. Walaupun tugas penegakan hukum juga menjadi tanggungjawab masyarakat, namun selama ini tugas tersebut lebih banyak kita serahkan ke aparat penegak hukum, terlebih dengan tingkat kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah. Oleh karena itu, sebelum RUU Pornografi disahkan, perlu diperhitungkan sejauh mana kekuatan/kemampuan sumber daya manusia, baik kualitas maupun kuantitas dari aparat penegak hukum dan bagaimana kesiapan sarana dan prasarana yang akan digunakan dalam penegakan hukum UU Pornografi nantinya, termasuk ketersediaan peraturan pelaksananya.

Kriteria keempat, Pornografi jelas merupakan bentuk kejahatan yang dapat merusak generasi penerus bangsa dan dapat merusak sistem sosial masyarakat yang dapat menghambat proses pembangunan nasional.


Polemik Definisi Pornografi

Sejak awal RUU Pornografi diusulkan dan dibahas, sudah menimbulkan pro kontra dan polemik. Salah satunya dalam perumusan definisi pornografi. Dari kacamata agama bisa dinilai sebagai pornografi, namun dari kacamata seni belum tentu. Sepertinya sulit sekali untuk merumuskan definisi pornografi yang bersifat universal, yang dapat diterima semua pihak. Dalam penal policy (kebijakan hukum pidana), sebenarnya setiap perumusan dalam undang-undang tidak ada kewajiban untuk selalu membuat atau mendefinisikan setiap istilah yang digunakan dalam undang-undang tersebut. Termasuk istilah pornografi dalam RUU Pornografi.

Jadi mendefinisikan atau tidak mendefinisikan adalah pilihan politik dari pembuat undang-undang. Apabila sulit didefinisikan atau setelah didefinisikan justru menimbulkan polemik dan multitafsir, mungkin lebih baik jangan didefinisikan. Namun orang akan bertanya, bagaimana mungkin akan mengatur sesuatu, tetapi tidak ada kejelasan tentang apa yang diatur. Sebenarnya, apabila mengalami kesulitan dalam mendefinisikan pornografi, maka lebih baik jangan didefinisikan, tetapi cukup dengan mengatur secara eksplisit bentuk-bentuk perbuatan pornografi dalam pasal-pasal ketentuan pidananya.. Karena pasal-pasal pidana inilah yang lebih bersifat fungsional dan mengandung unsur-unsur tindak pidana yang digunakan untuk membuktikan seseorang telah melakukan tindak pidana pornografi atau tidak.. Sementara pemberian definisi pornografi dalam ketentuan umum hanya bersifat memberikan penjelasan. Hal inilah yang dilakukan oleh pembuat UU Tindak pidana korupsi, dimana tidak mendefinisikan korupsi, namun langsung mengaturnya dalam rumusan pasal ketentuan pidana.

Written By :

Dwi Haryadi, S.H.,M.H. Dosen Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial <br />
Universitas Bangka Belitung

Dwi Haryadi, S.H.,M.H.
Dosen Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial
Universitas Bangka Belitung


UBB Perspectives

Juga Untuk Periode Berikut

Untuk Periode Berikut

Stereotipe Pendidikan Feminis

Urgensi Perlindungan Hukum Dan Peran Pemerintah Dalam Menangani Pekerja Anak Di Sektor Pertambangan Timah

Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat Asal Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) yang Berpotensi Sebagai Probiotik

Pemanfaatan Biomikri dalam Perlindungan Lingkungan: Mengambil Inspirasi dari Alam Untuk Solusi Berkelanjutan

FAKTOR POLA ASUH DALAM TUMBUH KEMBANG ANAK

MEMANFAATKAN POTENSI NUKLIR THORIUM DI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG : PELUANG DAN DAMPAK LINGKUNGAN

Pengaruh Sifat Fisika, Kimia Tambang Timah Terhadap Tingkat Kesuburan Tanah di Bangka Belitung

Akuntan dan Jurnalis: Berkolaborasi Dalam Optimalisasi Transparan dan Pertanggungjawaban

Sustainable Tourism Wisata Danau Pading Untuk Generasi Z dan Alpa

Perlunya Revitalisasi Budaya Lokal Nganggung di Bangka Belitung

Semangat PANDAWARA Group: Dari Sungai Kotor hingga Eksis di Media Sosial

Pengaruh Pembangunan Produksi Nuklir pada Wilayah Beriklim Panas

Pendidikan dan Literasi: Mulailah Merubah Dunia Dari Tindakan Sederhana

Mengapa APK Perguruan Tinggi di Babel Rendah ?

Dekonstruksi Cara Pikir Oposisi Biner: Mengapa Perlu?

PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DENGAN ASAS GOOD GOVERNANCE

UMP Bangka Belitung Naik, Payung Hukum Kesejahteraan Pekerja atau Fatamorgana Belaka?

Membangun Kepercayaan dan Kesadaran Masyarakat Dalam Membayar Pajak Melalui Peningkatan Kualitas Pelayanan Serta Transparansi Alokasi Pajak

Peran Generasi Z di Pemilu 2024

Pemilu Serentak 2024 : Ajang Selebrasi Demokrasi Calon Insan Berdasi

Menelusuri Krisis Literasi Paradigma dan Problematik di Bumi Bangka Belitung

Peran Pemerintah Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Protein Hewani Melalui Pemanfaatan Probiotik dalam Sistem Integrasi Sapi dan Kelapa Sawit (Siska)

TIMAH “BERPERI”

Jasa Sewa Pacar: Betulkah Menjadi sebuah Solusi?

Peran Sosial dan Politis Dukun Kampong

Mahasiswa dan Masalah Kesehatan Mental

Analogue Switch-off era baru Industri pertelevisian Indonesia

Di Era Society 50 Mahasiswa Perlu Kompetensi SUYAK

HUT ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia, sudah merdekakah kita?

Pemblokiran PSE, Pembatasan Kebebasan Berinternet?

Jalan Ketiga bagi Sarjana

Pentingnya Pemahaman Moderasi Beragama Pada Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum

SOCIAL MAPPING SEBAGAI SOLUSI TATA KELOLA SUMBER DAYA ALAM

Bisnis Digital dan Transformasi Ekonomi

Merebut Hati Gen Z

Masyarakat Tontonan dan Risiko Jenis Baru

Penelitian MBKM Mahasiswa Biologi

PEREMPUAN DI SEKTOR PERTAMBANGAN TIMAH (Refleksi atas Peringatan Hari Kartini 21 April 2022)

Kiat-kiat Menjadi “Warga Negara Digital” yang Baik di Bulan Ramadhan

PERANG RUSIA VS UKRAINA, NETIZEN INDONESIA HARUS BIJAKSANA

Kunci Utama Memutus Mata Rantai Korupsi

Xerosere* Bangka dan UBB

Pengelolaan Sumber Daya Air yang Berkelanjutan

SI VIS PACEM PARABELLUM, INDONESIA SUDAH SIAP ATAU BELUM?

RELASI MAHA ESA DAN MAHASISWA (Refleksi terhadap Pengantar Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum)

KONKRETISASI BELA NEGARA SEBAGAI LANGKAH PREVENTIF MENGHADAPI PERANG DUNIA

Memaknai Sikap OPOSISI ORMAWA terhadap Birokrasi Kampus

Timah, Kebimbangan yang Tak akan Usai

Paradigma yang Salah tentang IPK dan Keaktifan Berorganisasi

Hybrid Learning dan Skenario Terbaik

NEGARA HARUS HADIR DALAM PERLINDUNGAN EKOLOGI LINGKUNGAN

Mental, Moral dan Intelektual: Menakar Muatan Visi UBB dalam Perspektif Filsafat Pierre Bourdieu

PEMBELAJARAN TATAP MUKA DAN KESIAPAN

Edukasi Kepemimpinan Milenial versus Disintegrasi

Membangun Kepemimpinan Pendidikan di Bangka Belitung Berbasis 9 Elemen Kewarganegaraan Digital

Menuju Kampus Cerdas, Ini yang Perlu Disiapkan UBB

TI RAJUK SIJUK, DIANTARA KESEMPATAN YANG TERSEDIA

TATAP MUKA

Mengimajinasikan Dunia Setelah Pandemi Usai

MENJAGA(L) LINGKUNGAN HIDUP

STOP KORUPSI !

ILLEGAL MINING TIMAH (DARI HULU SAMPAI HILIR)

KARAKTER SEPERADIK

SELAMAT BEKERJA !!!

ILLEGAL MINING

Pers dan Pesta Demokrasi

PERTAMBANGAN BERWAWASAN LINGKUNGAN

GENERASI (ANTI) KORUPSI

KUDETA HUKUM

Inflasi Menerkam Masyarakat Miskin Semakin Terjepit

NETRALITAS DAN INTEGRITAS PENYELENGGARA PEMILU

Siapa Penjarah dan Perampok Timah ???

Memproduksi Kejahatan

Potret Ekonomi Babel

Dorong Kriminogen

Prinsip Pengelolaan SDA

Prostitusi Online

Menjaga Idealisme dan Kemandirian Pers

JUAL BELI BERITA

POLITIK RAKYAT DAN TANGGUNG JAWAB PEMIMPIN

Penelitian Rumpon Cumi Berhasil di Perairan Tuing, Pulau Bangka

Budidaya Ikan Hias Laut

Gratifikasi, Hati-Hatilah Menerima Sesuatu

KEPUASAN HUKUM

JANGAN SETOR KE APARAT

JAKSA TIPIKOR SEMANGAT TINGGI

Perairan Tuing, Benteng Sumberdaya Perikanan Laut di Kabupaten Bangka

GRAND DESIGN KEPENDUDUKAN (Refleksi Hari Penduduk Dunia)

Berebut Kursi Walikota